Sabtu, 07 November 2009

sampai segitunya kah...........

Evakuasi Korban Lamban MELAHIRKAN DI PERAHU,

Sri Lestari (terbaring), warga Desa Dumpel, Kec Geneng, Ngawi, Jawa Timur, melahirkan anak laki-laki saat dievakuasi Tim Satlak Penanggulangan Bencana Pemkab Ngawi, kemarin. Sri bersama bayinya lantas dilarikan ke RSU dr Suroto Ngawi untuk mendapatkan pertolongan medis KARANGANYAR (SINDO) – Keterbatasan alat berat dan kendala cuaca menghambat proses evakuasi korban banjir dan tanah longsor di Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, kemarin. Pemerintah setempat kesulitan mendatangkan alat berat di lokasi longsor di dua kabupaten yang paling parah terkena musibah. Sejumlah warga juga mengeluhkan distribusi bantuan yang belum merata. Hingga kemarin, korban meninggal dunia yang sudah ditemukan,66 orang di Karanganyar dan 7 orang di Wonogiri. Satu korban tewas ditemukan di wilayah Kecamatan Karanganyar kota akibat terseret arus. Proses evakuasi korban longsor di Dusun Ledoksari, Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu belum berjalan maksimal karena keterbatasan alat. Dari total 37 korban yang masih tertimbun, baru 6 korban tewas yang ditemukan. Mereka adalah Hamid, 5, Maryani, 15, Parlan, 27, Irfan, 3,Hanif,4,dan Ny Dody. Proses evakuasi yang dilakukan sejak Rabu (26/12) hingga kemarin siang berjalan sangat lambat. Alat berat tidak bisa dibawa masuk lokasi lantaran kondisi jalan sangat kecil dan curam. Puluhan personel TNI-Polri, tim SAR, dibantu berbagai elemen masyarakat hanya menggunakan alat seadanya seperti cangkul, sekop, dan linggis. Proses evakuasi sedikit terbantu setelah satu alat backhoe ukuran kecil berhasil didatangkan. Selain minimnya peralatan, proses evakuasi juga terhambat hujan deras yang sempat mengguyur wilayah Tawangmangu sekitar satu jam. Akibatnya, evakuasi sempat dihentikan sementara untuk mengantisipasi terjadinya longsor susulan. Musibah longsor Kamis (27/12) lalu juga melanda jalur Karanganyar–Matesih. Tanah longsor yang terjadi kedua kalinya di Desa Koripan, Kecamatan Matesih ini, membuat jalur utama menuju Kecamatan Tawangmangu kembali terputus. Pasalnya, jalur utama Karanganyar– Tawangmangu yang melalui Kecamatan Karangpadan belum bisa dibuka meski satu alat berat telah didatangkan ke lokasi. Kepala Seksi Kesiagaan dan Penanggulangan Bencana Kantor Kesbanglinmas Pemkab Karanganyar Heru Aji Pratama kepada SINDO mengatakan, dalam proses evakuasi hari kedua, tiga korban ditemukan secara berturut turut sekitar pukul 08.00 WIB. ”Tiga korban ini adalah Hamid, Maryani, dan Parlan,” kata Heru. Kemudian secara berturut turut, tiga korban lain yakni Irfan, Hanif, dan Ny Dody. Heru juga mengatakan bahwa sebagian besar warga di Dusun Ledoksari enggan meninggalkan rumah untuk mengungsi. Mereka hanya mengungsi sementara di tempat sanak saudara yang masih satu dusun dan dirasakan aman dari bahaya longsoran. Bupati Karanganyar Rina Iriani menjelaskan, saat ini pihaknya masih fokus mengevakuasi korban yang belum ditemukan. ”Kami juga sudah mendatangkan kantong-kantong mayat,” kata Rina. Sementara bantuan yang akan diberikan kepada para korban, saat ini masih dikoordinasikan dengan jajaran terkait. Secara keseluruhan, Pemkab Karanganyar pada 2007 ini telah menyiapkan anggaran untuk bencana di pos tak tersangka sebesar Rp5 miliar. Evakuasi di Wonogiri Kendala evakuasi korban juga dialami warga dan aparat di lokasi longsor di wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Hingga kemarin, baru tujuh dari 17 korban yang bisa ditemukan.Sulitnya akses menuju lokasi membuat aparat Pemkab setempat kesulitan mendatangkan alat berat. ”Sejauh ini evakuasi masih menggunakan cara manual dengan sekop, cangkul serta disemprot dengan air. Alat berat susah didatangkan ke lokasi,”terang Bupati Wonogiri Begug Purnomisidi. Dari pantauan di lapangan, musibah longsor ini terjadi di empat titik pada dua wilayah kecamatan, yakni Tirtomoyo dan Manyaran. Di Tirtomoyo, longsor melanda Dusun Sanggrahan dan Pagah, keduanya masuk wilayah Desa Hargantoro dan Dusun Semangin, Desa Sendangmulyo. Jumlah korban meninggal 16 orang dan 2 korban luka berat. Sementara di Dusun Pagah, dari tujuh korban yang tertimbun longsor, lima korban telah ditemukan. Korban terakhir yang ditemukan adalah Mbah Marinah, 70 dan cucunya, Novitasari, 11. Dia ditemukan sekitar pukul 09.00 WIB. Hingga kemarin di lokasi ini masih ada dua korban yang belum ditemukan. Sementara di Dusun Semangin, dari tujuh korban longsor belum ada satu pun yang ditemukan. Ketujuh korban ini berasal dari dua kepala keluarga. Sedangkan di Kecamatan Manyaran, jenazah Sidomulyono, 55, warga Kopen RT 04, Desa Bero, hingga petang kemarin juga belum berhasil ditemukan. Camat Tirtomoyo Tarjo Harsono mengungkapkan, untuk melakukan evakuasi ini, pihaknya menerjunkan sekitar 150 petugas yang terdiri atas berbagai unsur termasuk masyarakat sekitar.Dia mengakui lambatnya evakuasi ini karena kesulitan mendatangkan alat berat. ”Medannya sulit dijangkau,” tegasnya. Selain kendala alat, evakuasi korban longsor di Wonogiri juga terhalang cuaca. Kemarin sore, hujan lebat masih mengguyur wilayah yang terkenal dengan Waduk Gajah Mungkurnya ini. Kemarin beberapa pejabat Pemkab Wonogiri mengujungi lokasi tanah longsor di Semangin. Wakil Bupati Wonogiri Y Sumarmo melihat secara langsung proses evakuasi. Sumarmo menyatakan Pemkab Wonogiri akan memberikan santunan kepada korban bencana alam, baik korban meninggal dunia, luka berat, maupun yang rumahnya rusak. Mengenai distribusi bantuan, Kepala Desa Sendangmulyo Darto menjelaskan, pihaknya baru menerima bantuan dua karung beras dan 20 kardus mi instan dari pemerintah. Padahal di rumahnya, yang juga dijadikan posko bencana, setiap hari sekitar 92 kepala keluarga (KK) mengungsi di tempat ini. ”Bantuan itu sudah habis untuk memberi makan warga yang mengungsi di sini. Itu belum termasuk untuk membuatkan nasi bungkus bagi petugas dan relawan yang melakukan evakuasi korban,” terangnya. Relokasi Sementara itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengatakan, pemerintah berencana merelokasi rumah-rumah penduduk korban longsor di Kabupaten Karanganyar. Pemerintah menyiapkan dana yang bersumber dari pos anggaran penanggulangan bencana alam dalam APBN 2008 untuk mendukung program relokasi tersebut. ”Pemerintah akan membantu merehabilitasi dengan membangun kembali rumah-rumah penduduk yang rusak karena tertimbun,” kata Bachtiar Chamsyah seusai upacara pelantikan lima duta besar Republik Indonesia untuk negara sahabat di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Dia menuturkan, pemerintah telah mengirimkan bantuan logistik berupa beras dan mi instan ke lokasi bencana, termasuk perlengkapan untuk penanganan tanggap darurat bencana seperti tenda dan alat evakuasi. Menurut Chamsyah, anggaran Departemen Sosial untuk penanggulangan bencana alam telah bertambah sekitar Rp450 miliar. ”Dana ini dalam jangka panjang akan kita realisasikan untuk membantu para korban bencana alam,”katanya. Dia mengatakan, bagi korban longsor di Kabupaten Karanganyar, pemerintah akan memberi bantuan pembangunan yang didasarkan pada setiap rumah yang rusak, yaitu Rp10 juta dari pemerintah pusat dan Rp5 juta bantuan pemerintah daerah. ”Pencarian tempat relokasi nanti kita tanya kepada Bupati, karena dia (Bupati) yang tahu lokasi aman,” katanya. (ary wahyu wibowo/ agus joko/ainun najib)

Sabtu, 31 Oktober 2009

BENARKAH 2012 AKAN ADA BENCANA BESAR

Beberapa tahun belakangan, Indonesia memang sedang diguncang berbagai bencana alam hampir di seantero negeri, mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gempa, gunung meletus, dan masih banyak lagi. Beragam teori diajukan untuk dijadikan penyebab lahirnya bencana tersebut, mulai dari penggundulan hutan, penyalahgunaan lahan, sampai global warming.

Charles Cohen dan Eric Werker dari Harvard Business School menulis sebuah paper menarik berjudul The Political Economy of “Natural” Disasters. Mereka berpendapat bahwa bencana alam cenderung terjadi lebih sering dan beragam pada negara miskin yang dikelola dengan sistem politik yang buruk. Sejauh mana intervensi politik yang terjadi ternyata juga memengaruhi intensitas bencana alam tersebut.

Pemerintah, menurut Cohen dan Werker, dapat melakukan distribusi kekuatan politik melalui pembelanjaan untuk menangani bencana alam. Pemerintah yang tak punya pendanaan bagus akan terkena racket effect, yaitu secara sengaja memanipulasi populasi korban untuk menarik (dan juga mencuri) bantuan dari luar. Yang menarik, lembaga donor internasional juga sudah “biasa” memberi toleransi atas susutnya bantuan tersebut. Hal ini memicu desperation effect, di mana pemerintahan yang korup punya kemampuan lebih untuk menggandakan “penyusutan” tersebut.

Secara umum, pemerintah dapat menangani atau mencegah bencana alam dengan menggunakan sumber anggaran yang dialokasikan khusus maupun dari sumber pendapatan yang sedianya dialokasikan untuk keperluan lain—-plus sumber-sumber eksternal. Cohen dan Werker ternyata menemukan adanya bias dalam pembelanjaan dana yang bersumber dari anggaran sendiri dibandingkan dari anggaran lain. Semakin banyak pemerintah menggunakan dana dari anggaran sendiri dan tidak mengambil dana dari sumber lain, bencana alam yang terjadi lebih sedikit.

Cohen dan Werker mencontohkan Libya di bawah Muammar Al Qadhafi sejak tahun 1969 hanya mengalami satu bencana alam yang membawa kerugian $42 juta namun tidak menewaskan satu korban pun. Sementara itu Aljazair mengalami 58 bencana alam yang menewaskan hampir 7 ribu jiwa dengan kerugian $10,6 milyar. Mereka juga mencontohkan rezim Apartheid di Afrika Selatan yang menelan korban 1,2 juta jiwa antara tahun 1962 hingga 1989. Namun setelah rezim tumbang, antara tahun 1990 hingga 2002 korban yang timbul “hanya” 95 ribu jiwa. Artinya, penghapusan kasta dan sistem politik yang lebih baik ternyata mengurangi kematian hingga 90%.

Sejak tahun 1900, bencana alam telah menewaskan lebih dari 62 juta orang. Sekitar 85% di antaranya terjadi antara tahun 1900 dan 1950—-dipicu juga oleh peperangan, wabah penyakit, maupun kelaparan. Namun sejak tahun 1990 terjadi peningkatan dimana lebih dari 1 juta orang meninggal dalam bencana alam. Pada tahun 2005, Palang Merah Internasional mencatat negara-negara yang mengalami banyak bencana alam antara lain Kosta Rika, El Savador, Guatemala, India, Meksiko, Nikaragua, Pakistan, Paraguay, Republik Afrika Tengah, Romania, Sudan, dan tentu saja, Indonesia.

Tapi ternyata, fenomena ini sudah tertulis sejak lama dalam Al Qur’an. Secara lebih luas dan gamblang dituliskan dalam QS An-Nisaa 79 bahwa, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Artinya, hal-hal yang tidak “enak” yang kita rasakan—-termasuk di antaranya bencana alam—-tak lain adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Kalau di Indonesia terjadi begitu banyak bencana, kemungkinan memang disebabkan oleh orang Indonesia itu sendiri.

Kalau boleh berpendapat, barangkali bencana ini “lumrah.” Situasi politik dan sosial di Indonesia memang sedang carut marut. Tiap hari kita menyaksikan pemilihan kepala daerah yang saling rebutan kekuasaan. Tiap hari selalu ada berita pencurian, perampokan, sampai korupsi kelas kakap. Kita juga lazim menyimak seorang ayah yang tega memerkosa putrinya sendiri. Sementara itu di jalanan, orang saling serodok seenak perutnya. Tawuran massal dan demo yang menjurus pada aksi anarkis juga sering kita jumpai. Orang saling hujat dan menjelek-jelekkan satu sama lain sudah jadi hal yang biasa.